Manusia : Makhluk Cerdas yang Pelupa

amramr
Oct 13, 2025 - 17:12
Oct 13, 2025 - 17:19
 0  9
Manusia : Makhluk Cerdas yang Pelupa
Sri Asmediati SPd.

Manusia  : Makhluk Cerdas yang Pelupa

Oleh Sri Asmediati 

(Guru Bahasa Indonesia SMPN I Labuhan Badas)

Kecerdasan manusia sering dirayakan sebagai mahkota evolusi, tanda bahwa kesadaran telah mencapai puncaknya. Kita mampu memahami bintang, menulis puisi, dan membangun peradaban dari debu yang tak berarti. Namun di balik keagungan itu, ada kelemahan yang halus: lupa. Lupa menjadi bayang samar yang selalu mengikuti setiap langkah kesadaran. Ia bukan sekadar hilangnya memori, tapi bagian dari sistem kehidupan yang paradoksal. Karena justru di dalam kelupaan, manusia belajar untuk mengingat kembali siapa dirinya.

René Descartes, sang filsuf rasionalis, melihat manusia sebagai makhluk berpikir—cogito ergo sum. Ia menempatkan kesadaran sebagai pusat eksistensi, bahwa dengan berpikir manusia menemukan bukti keberadaannya. Namun Descartes lupa menyinggung satu hal: kesadaran tak selalu stabil. Di antara detik-detik kesadaran itu, manusia bisa kehilangan arah, melupakan apa yang telah ia yakini benar. Maka berpikir bukan hanya tentang mengingat, tapi juga perjuangan melawan kelupaan agar eksistensi tetap utuh.

Friedrich Nietzsche menambahkan sisi yang lebih getir. Baginya, manusia sering terjebak dalam sejarah dan ingatan yang berlebihan, sehingga tak mampu hidup untuk masa kini. Dalam karya On the Use and Abuse of History for Life, ia mengatakan bahwa untuk benar-benar hidup, manusia justru harus belajar melupakan. Kelupaan di sini bukan kelemahan, tapi kekuatan vital yang membebaskan dari beban masa lalu. Maka paradoksnya: hanya dengan melupakan, manusia bisa menjadi diri yang baru.

Sedangkan Martin Heidegger menafsirkan kelupaan secara eksistensial. Menurutnya, manusia telah “melupakan keberadaan” — Vergessen des Seins. Kita sibuk dengan benda-benda, pekerjaan, dan rutinitas, hingga lupa pada makna keberadaan itu sendiri. Dalam lupa yang eksistensial ini, manusia terasing dari dirinya sendiri. Maka tugas filsafat, kata Heidegger, bukan sekadar mencari pengetahuan, melainkan mengingat kembali makna “ada” yang telah terlupakan.

Dari Descartes, Nietzsche, dan Heidegger, kita melihat satu benang merah: bahwa lupa adalah sisi gelap dari kesadaran. Ia hadir bukan untuk meniadakan kebenaran, tapi untuk menegaskan batas kemampuan manusia. Seberapa pun cerdasnya, manusia tidak bisa mengingat segalanya. Justru dalam keterbatasan itulah kecerdasan menemukan bentuknya yang paling manusiawi. Karena kesempurnaan tanpa lupa hanya milik Tuhan.

Kelupaan juga mengajarkan kelembutan. Tanpa lupa, dendam akan abadi, kesedihan takkan pernah reda. Ingatan memberi arah, tapi lupa memberi keseimbangan. Ia adalah ruang hening di antara dua napas waktu: yang telah berlalu dan yang akan datang. Dalam kelupaan, manusia belajar berdamai dengan luka dan belajar menatap masa depan tanpa beban. Maka melupakan kadang adalah bentuk kebijaksanaan terdalam.

Namun ada bahaya ketika kelupaan menjadi sistemik. Ketika manusia lupa akan sejarah penderitaan, lupa akan nilai, lupa akan batas moral — di situlah peradaban tergelincir. Kecerdasan tanpa ingatan adalah kehancuran yang berkilau. Kita menciptakan teknologi untuk mengingat segalanya, namun kehilangan kemampuan untuk mengingat hal yang penting. Dunia modern penuh data, tapi miskin makna.

Manusia cerdas karena mampu menghubungkan masa lalu dengan masa depan melalui refleksi. Tapi manusia juga pelupa karena hidupnya selalu bergerak, dan tak ada ruang cukup bagi semua ingatan. Mungkin itulah harga dari kebebasan berpikir: kita harus melupakan sebagian agar bisa memaknai sisanya. Kecerdasan sejati bukan hanya mengingat fakta, tapi memilih mana yang pantas diingat. Selebihnya biarlah larut dalam arus waktu.

Pada akhirnya, manusia hidup di antara dua tepi: ingatan dan kelupaan. Kita membangun dunia dari apa yang masih kita ingat, dan kita tenang karena apa yang telah kita lupakan. Di situlah letak keindahan kemanusiaan — tidak sempurna, tapi terus berjuang mengingat arti hidup. Maka benar, manusia memang makhluk cerdas yang pelupa. Namun mungkin justru karena lupa, kita tetap mampu belajar menjadi bijak. Sebab tanpa lupa, kehidupan tak akan pernah terasa baru.(AM)

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow